[semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah]

Jumat, 06 Januari 2012

Penyelesaian Konflik di Darfur, Sudan.

            Saat ini tidak ada satu negara pun yang dapat hidup sendiri dalam artian untuk memenuhi kebutuhan nasionalnya. Tak ada satu negara pun yang tak memerlukan negara lain dalam demi terwujudnya suatu pencapaian. Dalam menjalin hubungan kerja sama tersebut maka diperlukanlah suatu wadah yang dapat menampung interaksi. Maka seiring perkembangannya, negara-negara yang saling bekerja sama ini sepakat untuk membentuk suatu organisasi yang menampung segala hubungan interaksi antar negara-negara sehingga berjalan lebih teratur dan terkendali. Organisasi ini dapat terbentuk karena adanya kedekatan dalam berbagai faktor seperti ekonomi, keamanan, budaya, dll.
     Salah satu faktor tersebut adalah karena adanya kedekatan kawasan secara geografis. Uni afrika adalah sebuah organisasi kerjasama yang beranggotakan neara-negara yang ada di Afrika, yang mana secara resmi didirikan pada 9 Juli 2002 sebagai bentuk lanjutan atas ketidakberhasilan KTT Algiers yang tidak dapat mencapai kesepakatan dalam Perjanjian Abuja demi mendirikan Masyarakat Ekonomi Afrika tahun 1981. Hal itu mendesak untuk proses penciptaan Uni Afrika. Para Kepala Negara dan Pemerintahan Organisasi Kesatuan Afrika (OUA) yang 25 May 1963, sebelumnya telah terbentuk mengeluarkan Deklarasi Sirte dengan menciptakan pembentukan Uni Afrika pada 9 September 1999, dengan tujuan untuk mempercepat proses integrasi di benua Afrika yang mana akan berperan dalam perekonomian global, dan juga menangani multikonflik sosial dan politik. Beberapa usaha perdamaian di usahakan oleh Uni Afrika, bahkan terlibat kerjasama dengan PBB dalam mengusahakan perdamaian di Darfur. Usaha-usaha perdamaian yang telah dilakukan adalah seperti perjanjian perdamaian, perundingan perdamaian, dengan Uni Afrika sebagai mediator, namun tetap saja perdamaian belum tercapai. 

      Penting dan seriusnya masalah di Darfur ini diharapkan bagi Uni Afrika dapat segera menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Darfur. Mengapa konflik di darfur begitu penting untuk dibahas, karena sebagian dari masyarakat menganggap bahwa konflik yang terjadi di Darfur hanyalah sebatas dari permasalah konflik yang bergejolak antara entis-etnis yang ada di Darfur saja. Namun lebih dari itu, konflik di Darfur yang di awali akibat adanya keterbatasan sumber daya yang ada di Darfur sehingga mengharuskan tiap-tiap etnis untuk bertahan hidup di dalam keterbatasan ini ternyata menyebabkan gampangnya terjadi pergesekan masalah. Gesekan-gesekan ini kemudian, menyulut konflik setelah terjadinya ketidakseimbangan di darfur, dan diperparah dengan masuknya Libya sehingga dimulainya konflik antar etnis di Darfur.

  • Latar Belakang Konflik Darfur 
      Darfur merupakan provinsi di barat Sudan di mana tiga kelompok etnis mendominasi daerah dan mayoritas orang muslim. Sebagian besar penduduknya adalah petani arab berkulit hitam yang nomaden. Adanya perbedaan etnik, menyebabkan terjadinya konflik antara Sudan Arab dan Afrika hitam. Hal itu terjadi karena populasi di Darfur terdiri dari beberapa suku yang semuanya bekerja sebagai petani dan pengembala unta serta sapi. Mayoritas suku yang bekerja sebagai petani adalah suku Fur dan Masalit, dan mayoritas suku yang bekerja sebagai pengembala adalah suku Zaghawa, Baqqaram dan Abbala. Iklim yang ekstrim di Darfur menciptakan suku-suku ini harus belajar untuk berbagi air dan tanah untuk perternakan dan pertanian mereka. Pada awal tahun 1980-an, terjadinya kekeringan parah yang menyebabkan ketidakstabilan di Darfur. Di tahun yang sama pula, Libya mulai menggunakan Darfur sebagai medan bagi perang melawan Chad, yang membawa ideologi supremasi Arab ke Darfur. Keterlibatan Libya juga mengakibatkan arus masuk senjata kecil ke Darfur. Ini adalah unsur utama letusan kekerasan di Darfur. Pada pertengahan 1987, perang pecah antara Fur dan nomaden Arab, yang dimana pada saat itu Tentara Sudan memberikan nomaden Arab persenjataan dan kuda layaknya “para ksatria” yang disebut dengan Janjaweed, kemudian mulai menyerang petani desa. Ini juga pertama kalinya kata Janjaweed digunakan untuk menggambarkan milisi Arab. Dengan diabaikannya situasi ini oleh pemerintah pusat, perang terus berlanjut sampai Mei 1989.

       Faktor lain yang memicu hal ini adalah latar belakang sejarah pada masa kolonial Inggris yang dimana otoritas penjajah memberikan suku-suku asli setempat kekuasaan untuk menjalankan kontrol di wilayahnya sesuai dengan suku masing-masing. Memasuki era kemerdekaan hal ini berubah yang dimana kontrol atas wilayah dipegang sepenuhnya oleh otoritas pusat. 
     Sejak Sudan memperoleh kemerdekaannya, Darfur secara politik dan ekonomi termajinalkan oleh pemerintah pusat. Sejumlah kaum terpelajar Darfur membentuk suatu pergerakan politik di tahun 1960-an untuk memperjuangkan Darfur sejajar dengan yang lain. Terkait dengan hal ini, pada akhir tahun 1980-an suku-suku petani disana seperti Fur dan Masalit menghadapi konflik tidak hanya dengan suku Arab namun juga dengan pemerintah pusat. Sebagai akibatnya, suku-suku Afrika (Fur, Masalit, dan Zaghawa) ini membentuk kelompok perlawanan yang bersenjata di akhir tahun 1990-an dan di tahun 2001 mereka melancarkan serangan terhadap gedung-gedung kepolisian dan markas tentara. Pada tahun 2002, ketiga suku ini memutuskan untuk bergabung dengan kelompok pemberontakan yaitu Pasukan Pembebasan Sudan atau Sudanese Liberation Army (SLA) atau Jaisy Tahrir al-Sudan dan Gerakan Keadilan Persamaan atau The Justice and Equality Movement (JEM) atau Jaisy Tahrir al-Sudan. Dan pada tanggal 25 April 2003, serangan terhadap Bandar Udara El-Fasher dinilai sebagai titik dimulainya dari perang saudara di Darfur ini.

       Pemerintah Sudan telah memberikan dukungan terhadap Janjaweed sejak dari sebelum-sebelumnya, peningkatan serangan oleh pemberontak terhadap instalasi pemerintah membuat langkah Khartoum atas dukungannya, dengan dikuasai situasi di Sudan Selatan dan di berbagai daerah lainnya, hal ini menyebabkan spekulasi bahwa pemerintah telah memasukan Janjaweed menjadi penumpas pemberontakan karena kurangnya tentara yang dimiliki pemerintah Sudan. Janjaweed menerima persenjataan, alat komunikasi, artileri, dan penasihat militer dari pemerintah Sudan, sehingga menimbulkan kesulitan dalam membedakan antara Janjaweed dengan pasukan penumpas pemberontak dari pemerintah.

    Semenjak Oktober 2003, Janjaweed merubah fokus kampanyenya memerangi para pemberontak menjadi penargetan para warga sipil. Dengan menyerang dan menggusur warga sipil yang dimana dilakukan didaerah yang merupakan pusat para pemberontak. Penyerangan ini dilakukan dengan peluncuran bom-bom dari pesawat militer dan diikuti dengan menghujani peluru lewat helikopter, kemudian Janjaweed memasuki desa-desa dengan berjalan kaki, menunggangi kuda atau unta, dan mobil, untuk menjarah, memperkosa, dan membunuh. Kerap kali desa-desa tersebut dibakar untuk mencegah para penduduk kembali lagi.

  • Pihak yang bersengketa
       Konflik terjadi antara etnik Arab dan Afrika. Pada awalnya hal yang terjadi hanyalah konflik tradisional biasa yaitu berebut lahan ternak dan sumber air yang memang terbatas, kemudian ketika masuknya Libya ke Darfur yang saat itu tengah berkonflik dengan Chad dan mempersenjatai suku nomaden Arab yang saat itu tengah berkonflik dengan suku Fur, berakibat kekerasan dan berkembang ke konflik antar etnik ketika pemerintahan Shadiq al-Mahdi melatih dan mempersenjatai milisi “Murahiliin” dari etnik Baggara, untuk menghadapi pemberontak Sudan Selatan (SPLM/A), yang mencoba masuk Darfur. Kerja sama antara Khartoum dan Murahiliin ini berlanjut pada masa Presiden Bashir.

       Di pihak lain, para milisi dari etnik Fur, Zaghawa dan Massalit pada 2001 bergabung dalam satu gerakan pemberontakan terhadap pemerintah yang telah semena-mena dan memarjinalkan mereka. Mereka mendapatkan latihan militer dari kelompok Zaghawa, yang sebelumnya telah mendapat latihan dari tentara Sudan dan Chad. Mereka mempersenjatai diri, dengan senjata-senjata yang dibeli/diselundupkan dari Chad dan Libya. Maka konflik antarmilisi pun makin sering dan berskala lebih besar. Gerakan itu kemudian menamakan diri sebagai “Front Pembebasan Darfur” atau Darfur Liberation Front (DLF). Kemudian DLF melancarkan serangan ke instalasi militer dan pemerintahan di Golo, Jabal Marra, Darfur, kemudian mengganti namanya menjadi Sudan Liberation Movement/Army (SLM/A) yang dipimpin oleh Abdel Wahid. Mereka menginginkan Sudan menjadi negara kesatuan yang berdasarkan sekularisme secara konstitusionanl dan berdasarkan demokrasi perwakilan yang adil, penghormatan terhadap HAM dan keadilan sosial yang merata. Sedangkan Pemberontak Sudan Selatan (SPLM/A) menginginkan Sudan Baru yang terdiri dari dua wilayah yaitu wilayah Utara yang berdasarkan syariat Islam dan Wilayah Selatan yang berdasarkan Sekularisme atau memisahkan diri dari Sudan berdasarkan self-determination. Meskipun hasil pertemuan itu tidak diumumkan, namun orang dapat mengasumsikan bahwa antara gerakan di Sudan Selatan dan gerakan di Darfur paling tidak terdapat penyamaan visi.
 
  • Proses Penyelesaian Konflik Darfur
    Pada masa awal terjadinya konflik sebenarnya pemerintah sudah mengupayakan penyelesaiannya dengan jalur non-militer dengan membentuk Mechanism for Extending Authority of the State (MEAS) yang dipimpin oleh Gubernur Darfur Utara, Ibrahim Suleiman, dengan mengundang ratusan pemimpin lokal dalam forum konsultasi di Al-Fashir pada tanggal 24-25 Februari 2005. Konferensi ini berhasil membentuk suatu komite yang bertugas untuk melakukan pembicaraan dengan pemberontak, yang akan diikuti dengan pertemuan antara pemberontak dengan pemerintah. Sayangnya upaya MEAS itu tidak dapat dukungan dari pemerintah terutama kelompok militer yang ingin melakukan operasi militer. Selain itu Pemerintah juga mengupayakan perdamaian dengan melakukan mediasi oleh tokoh – tokoh nasional yang berasal dari etnis yang sama dengan pemberontak seperti Menteri Pendidikan Babiker Nahar, Gubernur Nil Utara, Ali Massar, Wapres Osman Ali Taha, mantan Gubernur Darfur Ibrahim Diraige.

      Pertemuan yang dilakukan Nahar dan Massar dengan SLM/A pada bulan Juni 2003, namun pemberontak itu baru mau melakukan perundingan damai, apabila mereka diakui secara politis dengan menghentikan tuduhan sebagai pemberontak dan melucuti senjata Janjawaheed, namun persyaratan yang diajukan oleh pemberontak itu tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah Sudan. Upaya perdamaian yang lebih berarti dilakukan oleh Presiden Chad, Idris Deby, karena merasa hutang budi kepada Sudan atas dukungannya dan suku Zaghawa dalam menumbangkan kekuasaan Rezim Hussein Habre di Chad. Ia bertindak selaku mediator antara SLM/A dan JEM dengan pemerintah Sudan, yang dihadiri oleh pengamat dari AS, UE, UA dan utusan khusus dari PBB di N’jamena pada bulan Maret 2004. Perjanjian ini membentuk kesepakatan gencatan senjata dan bertugas untuk mengatur dan mengawasi perdamaian selama 45 hari antara pihak – pihak yang bertikai. Kemudian peran mediasi yang dilakukan oleh Chad digantikan oleh Uni Afrika dengan membentuk Komisi Gabungan Gencatan Senjata, yang telah berhasil meletakan dasar penting bagi proses selanjutnya.

      Keterlibatan PBB di Darfur dimulai ketika terjadi krisis kemanusian di Darfur pada tahun 2003 akibat dari tindakan Janjaweed terhadap penduduk sipil yang dituduh membantu pemberontak. Sebagai akibatnya lebih dari 50.000 penduduk sipil tewas dan 1,6 juta penduduk mengungsi dan sekitar 70.000 diantaranya meninggal di tempat pengungsian akibat kekurangan gizi dan wabah penyakit. Berdasarkan pernyataan itu maka keluarlah Resolusi DK-PBB No.1547 tanggal 11 Juni 2004, yang memerintahkan agar Pemerintah Sudan dan para pemberontak harus melaksanakan perjanjian Gencatan Senjata yang sudah dirintis oleh Chad dan UA sebelumnya. Selain itu Sekjen PBB Kofi Anan datang ke Darfur untuk meninjau keadaan, dimana pemerintah Sudan berjanji untuk membuka semua perbatasan terhadap akses kemanusiaan yang dilakukan selama ini serta akan menyeret orang – orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM ke pengadilan, melucuti Janjaweed dalam waktu 30 hari. Bila tidak ditaati akan diberikan sanksi ekonomi dan militer.

  • Peranan Uni Afrika di Darfur
      Konflik yang terjadi di Darfur, sudah bukan hanya menjadi masalah bagi Sudan sendiri, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Karena konflik yang terjadi di Sudan, sudah masuk ke dalam krisis kemanusiaan dimana memakan korban sipil hingga ratusan ribu orang dan menimbulkan jumlah pengungsi yang mencapai 1 juta orang. Maka dari itu pihak ketiga sangat diharapkan untuk membantu menyelesaikan masalah ini. Dimana pihak ketiga dapat berfungsi sebagai aktor manajemen konflik dan membawa pihak–pihak yang bertikai kedalam sebuah perundingan dan penghentian konflik.

      Dan di dalam masalah ini, pihak ketiga yang paling memiliki kedekatan dan kewenangan untuk ikut menyelesaikan masalah Darfur adalah Uni Afrika. Dimana terdapat beberapa faktor yang mendorong Uni Afrika untuk terlibat dalam upaya penyelesaian konflik Darfur. Secara internal, faktor yang mendorong Uni Afrika untuk menyelesaikan masalah Darfur, datang secara langsung dari komitmen Uni Afrika sendiri untuk terlibat dalam penyelesaian konflik di negara–negara anggotanya sesuai dengan prinsip–prinsip dan tujuan dibentuknya Uni Afrika. Dimana Piagam Uni Afrika memberikan batasan bagi kedaulatan negara anggotanya, yaitu kedaulatan negara bersifat kondisional, dan diartikan sebagai kemampuan negara untuk memberikan perlindungan dan keamanan bagi warganegaranya. Dan semakin ditegaskan oleh Pasal 4 Piagam Uni Afrika yang dengan tegas menyatakan bahwa Uni Afrika berhak mengintervensi negara anggotanya berdasarkan keputusan Majelis setelah melihat adanya kejahatan perang, genosida, dan pelanggaran terhadap kemanusiaan. Dalam penyelesaian Konflik Darfur ini, Uni Afrika memainkan setidaknya empat peran penting, yaitu sebagai fasilitator, mediator, monitoring, hingga sebagai peace maker. Semua hal ini dilakukan berdasarkan inisiatif Uni Afrika untuk secepatnya menyelesaikan konflik yang terjadi di Darfur tersebut.
Adapun peran yang dilakukan oleh Uni Afrika adalah sebagai berikut:

1. Fasilitator Perundingan Damai
Langkah awal yang dilakukan oleh Uni Afrika dalam upaya menyelesaikan konflik di Darfur dimulai dengan fungsinya sebagai fasilitator. Dimana Uni Afrika mendatangi pihak–pihak yang bertikai dan berusaha meyakinkan pihak–pihak tersebut untuk melakukan perundingan damai.
Proses ini dimulai dengan mengirimkan utusan Khusus Dewan Keamanan Uni Afrika, Baba Gana Kingibe ke Chad dan Sudan. Pada saat berada di Chad pada 5 Maret 2004, Baba Gana Kingibe menemui sejumlah pejabat pemerintahan Chad dan meminta agar Presiden Chad, Iddris Deby meneruskan upaya mediasi terhadap pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak disana, karena Chad, sebagai negara yang terletak bersebelahan secara geografis merasakan dampak dari konflik tersebut. Hasil kunjungan Kingibe ke Chad dan Sudan tersebut, akhirnya membuat Dewan Keamanan Uni Afrika mengutus sebuah tim yang dipimpin oleh Sam Ibok (Direktur Dewan Keamanan Uni Afrika) ke N’djamena, Chad guna membawa pihak–pihak yang bertikai di Darfur ke meja perundingan serta mempersiapkan rencana pertemuan untuk kemudian mengadakan perundingan damai antara pihak–pihak yang bertikai di Darfur yang dikenal sebagai interSudannese meetings on Darfur.


2. Mediator Perundingan Damai 
Setelah memfasilitasi jalannya perundingan, Uni Afrika memainkan perannya sebagai mediator bagi pemerintah Sudan dan dua kelompok pemberontak (SLA/M dan JEM) dalam perundingan tersebut. Uni Afrika terus mengupayakan agar kedua pihak tersebut mengadakan perundingan dan negosiasi untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Upaya tak kenal lelah dari Uni Afrika dalam melakukan mediasi terhadap kedua belah pihak akhirnya membuahkan hasil nyata pada tanggal 8 April 2004, setelah melakukan banyak perundingan di N’djamena sejak 31 Maret 2004, akhirnya pemerintah Sudan dan kedua kelompok pemberontak tersebut menandatangani Humanitarian Ceasefire Agreement (HCFA) and Protocol On The Establishment of Humanitarian Assistance In Darfur ( Protokol Pembentukan Badan Bantuan Kemanusiaan di Darfur) yang salah satunya mengatur persetujuan gencatan senjata bagi pihak–pihak yang sedang bertikai.
Perjanjian HCFA yang ditandatangani oleh pihak–pihak yang bertikai memberikan landasan hukum bagi Uni Afrika untuk terlibat lebih aktif dalam upaya penyelesaian ini. Dalam setiap perundingan damai, masing–masing pihak memiliki tuntutannya tersendiri, sehingga Uni Afrika melakukan pendekatan persuasif kepada setiap pihak untuk menjembatani perbedaan pandangan tersebut.

3. Pengawas Kesepakatan Gencatan Senjata  
Seperti dalam kesepakatan HCFA, akhirnya pada tanggal 28 Mei 2004 bertempat di Addis Ababa, Ethiopia, dibentuklah Ceasefire Commission (CFC) dan Joint Commission (JC) sebagai badan pengawas bagi implementasi jalannya HCFA oleh kedua belah pihak. Seperti yang sudah disepakati sejak awal, CFC dibentuk dan diketuai langsung oleh Uni Afrika, sedangkan wakil ketua akan diserahkan kepada Uni Eropa sebagai representative dari masyarakata internasional. Anggota CFC sendiri terdiri dari perwakilan-perwakilan Uni Afrika, pemerintah Sudan, serta SLA/M dan JEM. Secara teknis, pelaksanaannya diberi nama Africa Union Monitoring Mission yang pada perkembangan selanjutnya berubah menjadi misi Uni Afrika di Sudan atau sering dikenal dengan African Union Mission in Sudan (AMIS). Disinilah peran Uni Afrika sebagai Monitoring, dan Peace making di jalankan, dimana AMIS bertindak untuk mengawasi bagaimana agreement mengenai gencatan senjata dan kemanusiaan yang telah disepakati sebelumnya berjalan sesuai dengan yang terteta didalam perjanjian tersebut. AMIS juga menjalankan fungsi untuk menjaga keamanan di Darfur agar kestabilan di Darfur dapat di jaga dan konflik tidak semakin meluas.

4. Operasi Perdamaian 
Dengan personil yang cukup banyak ternyata AMIS berhasil menjalankan tugasnya untuk melindungi warga sipil Darfur dari ancaman Janjaweed. Selain itu Uni Afrika juga telah berhasil menghasilkan perjanjian Darfur Peace Agreement (DPA) pada tanggal 9 Mei 2006. Adapun isi dari Darfur Peace Agreement tersebut, antara lain adalah :
  • Mayarakat Darfur akan mendapatkan haknya di setiap level pemerintahan dari semua lembaga negara melalui kriteria pembagian kekuasaan yang adil dan merata sesuai dengan kebebasan dasar HAM.
  • Darfur akan diberi kewenangan untuk mengelola wilayahnya sendiri yang statusnya akan ditentukan melalui referendum yang akan menentukan apakah Darfur akan menjadi satu kesatuan wilayah atau akan menjadi tiga wilayah seperti sebelumnya. Referendum itu akan dilaksanakan di tiga wilayah Darfur setelah pemilu paling lambat bulan Juli 2010.
  • Pembangunan kembali Darfur akan dilakukan sesegera mungkin termasuk pembagian kekayaan yang terdiri dari SDA, SDM, aset budaya, aset sejarah, serta aset finansial seperti pemberian kredit bagi anggota masyarakat. Pelaksanaan semua perjanjian tentang Gencatan Senjata yang sudah disepakati sejak tahun 2004.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar