[semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah]

Jumat, 06 Januari 2012

Penembakan di Aceh: Jangan Mudah Terprovokasi!

Provinsi Aceh, sebuah provinsi di paling Barat ujung Sumatera merupakan wilayah yang dikenal kaya akan sumber daya alam dan budaya. Daerah yang "kaya" itu sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia dan bahkan dunia karena kompleksnya kekayaan sumber alam, konflik, serta bencana alam khususnya ketika terjadi Tsunami dahsyat yang menghempas daerah Aceh pada 26 Desember 2004 silam. Namun bencana ini seakan mengubah wajah Aceh saat ini menjadi lebih aman, stabil dan tentram. Pada tanggal 15 Agustus 2005, dengan berbagai pertimbangan khususnya mempermudah masuknya bantuan asing ke Aceh pada saat musibah Tsunami, kesepatan damai terjadi antara GAM dan RI di Helsinski, Finlandia. Seperti yang kita ketahui, Aceh merupakan daerah konflik bersenjata yang ingin memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 1970-an.


Masyarakat Aceh sangat mengimpikan kehidupan yang damai dan aman tanpa ada gangguan dan ancaman seperti yang mereka rasakan sejak dulu. Kesepakatan Damai (MoU Helsinski) seakan membawa angin baru bagi daerah Aceh, karena masyarakatnya bisa kembali hidup dengan normal. Keamanan telah terjaga dengan baik, roda perekonomian berputar dengan pesat, dan pastinya memudahkan anak-anak muda Aceh pada kurun waktu 2005 sampai saat ini untuk bisa berkarya dengan bebas selama masih tunduk dengan aturan-aturan yang berlaku.

Namun, tepat pada saat perayaan Tahun Baru 2012, warga Aceh dikejutkan oleh dua kejadian penembakan yang terjadi di dua tempat yang berbeda, di Banda Aceh dan Bireun. Deno atau yang memiliki nama lengkap Dimas Wagino merupakan korban penembakan yang langsung meninggal ditempat kejadian pada malam tersebut. Dalam beberapa media online, Deno merupakan seorang penjual boneka di kawasan Ulee Kareeng, Banda Aceh, yang berasal dari Medan [Kompas]. Sedangkan tiga korban dari penembakan yang terjadi di Bireun dan Aceh Utara adalah Sunyoto dan Suparno asal Jember, dan Daud asal Banyuwangi. Mereka adalah pekerja galian kabel milik PT. Telkom [BBC Indonesia], ketiganya dikabarkan tewas. Selanjutnya rentetan penembakan kembali terjadi pada kamis malam (5/1) di Simpang Aneuk Galong Sibreh, Aceh Besar, dan mengakibatkan tiga orang pekerja bangunan asal Semarang mengalami luka parah [BBC Indonesia].

Kabar buruk tersebut telah mencoreng nama baik Aceh secara nasional, karena daerah ini dianggap sebagai daerah yang memiliki konflik yang secara terus-menerus terjadi. Terlebih, kemajuan teknologi sekarang ini lebih memudahkan pemikiran publik tentang situasi yang terjadi. Hal yang paling disorot pada kasus penembakan ini adalah korban-korbannya. Ntah secara kebetulan atau tidak, semua korban dari kasus penembakan yang terjadi sejak perayaan malam tahun baru adalah berasal dari luar daerah Aceh. Banyak komentar dan opini yang mencoba memberikan pandangan tentang motif dari kasus ini, antara lain adalah kasus ini berhubungan erat dengan permasalahan politik atau Pemilukada yang sebentar lagi akan digelar [imparsial]. Di pihak lain, banyak yang menduga bahwa kekerasan ini adalah murni ulah si pelaku yang tidak senang dengan suku Jawa. Anggapan ini sangat berbahaya, dan sangat memprovokasi. Dendam lama warga Aceh pada masa konflik seakan diangkat kembali oleh si pelaku, dan kemudian warga Aceh diprovokasi oleh pemberitaan media-media yang memuat anggapan tersebut.

Dari tanggapan-tanggapan diatas, Penulis sedikit ingin memberikan tentang motif dan dampak yang dirasakan oleh Aceh karena merebaknya kasus penembakan yang terjadi dalam beberapa hari ini. Dari sisi motif, Pemilukada merupakan momen yang pas bagi si pelaku untuk merusak perdamaian yang telah dibina selama ini. Dengan adanya kasus ini, atau tidak, Pemilukada dikabarkan akan tetap dilaksanakan pada 16 Februari tanpa ada lagi penundaan seperti sebelum-sebelumnya. Bagi para korban yang berasal dari daerah luar, juga dijadikan pelaku agar kasus ini me-nasional dan disorot oleh media-media massa. Jadi, menurut Penulis, motif dari pelaku adalah "merusak perdamaian Aceh" karena tidak senang dengan Nota Kesepakatan MoU Helsinski. Dengan begitu, momen tentang kisruh Pemilukada dan target korban diatur sedemikian rapi, sehingga opini publik diarahkan ke provokasi menyangkut hal-hal yang berbau etnis dan suku. Provokasi tersebut kemudian menyulut amarah dari pihak suku korban sehingga memungkinkan terjadinya konflik kembali. Menurut pengamatan Penulis dari orang-orang Aceh disekitar Penulis, tidak ada sama sekali yang membenci suku lain karena luka lama. Bahkan sekarang ini, banyak warga Aceh yang juga menetap di daerah lain diluar Aceh, baik itu mencari pekerjaan ataupun sedang menimba ilmu. Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara suku Aceh dengan suku-suku lain berjalan dengan baik. Orang Aceh tidak memiliki musuh, dan tidak ingin mencari musuh.

Semoga saja kita semua bisa mengatasi permasalahan ini dengan baik, dan tidak bergantung pada pemerintah ataupun aparat yang terus-menerus menyebar bualan dan janji-janji palsu. Masyarakat harus bergerak secara independen dengan memperbaiki diri mereka sendiri terlebih dahulu dan sadar akan tindakan kriminal itu harus dihapuskan, sebelum memperlurus urursan-urusan yang menyangkut kepentingan orang banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar